Selasa, 07 Januari 2014

Cara Bijak Pilih Obat Tradisional

Cara Bijak Pilih Obat Tradisional PDF Print Image Sebagian besar dari kita akrab dengan obat tradisional. Bahkan, banyak yang mengandalkan obat semacam ini untuk menjaga kesehatan atau mengobati penyakit. Sebetulnya, bagaimana cara memilih obat tradisional yang aman? Beberapa waktu lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sedikitnya 93 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat keras di sejumlah pasar tradisional. Obat-obat itu biasanya dijual di gerai-gerai jamu atau dijajakan oleh tukang jamu gendong (dengan sebutan jamu setelan). Kabar tersebut tentu saja menambah kekhawatiran bagi pecinta obat-obat tradisional, karena bahan kimia obat keras jika dikonsumsi akan membahayakan kesehatan. Sebagian besar dari kita akrab dengan obat tradisional. Bahkan, banyak yang mengandalkan obat semacam ini untuk menjaga kesehatan atau mengobati penyakit. Sebetulnya, bagaimana cara memilih obat tradisional yang aman? Beberapa waktu lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sedikitnya 93 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat keras di sejumlah pasar tradisional. Obat-obat itu biasanya dijual di gerai-gerai jamu atau dijajakan oleh tukang jamu gendong (dengan sebutan jamu setelan). Kabar tersebut tentu saja menambah kekhawatiran bagi pecinta obat-obat tradisional, karena bahan kimia obat keras jika dikonsumsi akan membahayakan kesehatan. "Mengonsumsi obat tradisional berbahan kimia obat keras bukan saja membahayakan kesehatan, tapi juga bisa mematikan. Pemakaian obat keras harus melalui pengawasan dan resep dokter," tandas Kepala BPOM, Husniah Rubiana Thamrin Akib, Selasa (5/12). Berbagai bahan kimia obat keras yang ditemukan BPOM itu antara lain fenilbutason, metampiron, CTM, piroksikam, deksametason, allupurinol, sildenafil sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol. Misalnya, metampiron dapat menyebabkan gangguan saluran cerna, perdarahan lambung dan gangguan syaraf. "Fenilbutason dapat menyebabkan rasa mual, ruam kulit, retensi cairan, dan gagal ginjal. Deksametason dapat menyebabkan trombositopenia, anemia plastis dan gangguan fungsi ginjal, sedangkan Sibutramin Hidroklorida dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung." REAKSI LAMBAT Menurut Dr. Dyah Iswantini, MAgr. dari Pusat Studi Biofarmaka IPB, prinsip kerja jamu salah satunya adalah proses (reaksinya) yang lambat, tidak seperti obat dari bahan kimia yang bisa langsung bereaksi. "Ini karena jamu bukan senyawa aktif. Kalau senyawa aktif (parasetamol, misalnya), butuh proses yang panjang." Jamu biasanya berasal dari simplisia (tanaman obat kering), yaitu daun/umbi yang diiris, dikeringkan, dan dihancurkan. "Jamu diambil dari daun tanaman obat. Kalau mau diambil senyawanya, harus diekstrak, dipisahkan dulu, dimurnikan, difraknisasi, baru dapat senyawanya," papar Dyah. Tentu saja proses tersebut butuh jumlah bahan baku yang sangat banyak. Misalnya, dari satu ton daun sambiloto yang diekstrak, baru bisa didapat bahan aktifnya. Itulah sebabnya, jika efek sembuh langsung muncul begitu jamu diminum, konsumen layak curiga, karena pasti ada sesuatu. "Itu yang terjadi pada jamu-jamu yang diberi obat-obat kimia tadi. Tanpa penelitian, hanya dimasukkan begitu saja. Kalau gatal-gatal, diberi CTM. Pusing-pusing, diberi antalgin atau parasetamol. Untuk asam urat, diberi allupurinol. Ya, jelas manjur. Tapi, menjadi berbahaya karena dosisnya tidak diketahui dan tanpa pengawasan dokter. Jamunya hanya sebagai penampakan, padahal isinya bahan kimia." Peneliti yang juga dosen di Departemen Kimia IPB ini melanjutkan, "Bahaya sekali kalau ada bahan kimia, tanpa tahu dosisnya. Padahal, yang namanya obat (kimia), dosis sangat menentukan. Kalau melebihi dosis bisa berakibat fatal, atau kalau dipakai dalam waktu tertentu, bisa merusak organ vital." Namun, Dyah menekankan, tentu saja tidak semua jamu tidak baik. Dosis biasanya tertera pada kemasan, kecuali jamu gendong. "Dosis, kan, sebenarnya tidak sembarangan ditentukan. Harus sampai penelitian preklinis (uji coba ke hewan)," jelas Dyah. Dosis di sini dalam arti berkhasiat. Tapi, dosis juga dalam arti jangan sampai melebih toksisitasnya. Misalnya dosisnya satu sachet sehari. Berarti kalau lebih dari satu sachet, sudah melampaui batas yang ditentukan. PASCA PANEN Aman dikonsumsi memang menjadi syarat utama jamu, seperti yang ditentukan oleh BPOM. Untuk menguji keamanan, biasanya dilihat kandungannya. Misalnya dengan melihat tingkat toksisitasnya. Contohnya buah mahkota dewa. "Dosisnya harus sekian, tidak boleh melebihi sekian, karena toksik." Selain soal toksisitas, yang juga memengaruhi keamanan jamu adalah faktor penanganan pascapanen. "Bagaimana cara mencuci, mengeringkan, dan menyimpan sampai menjadi jamu atau produk tertentu (misalnya kapsul atau minuman instan) sangat berpengaruh. Kalau tidak benar, maka mikroba dan aflatoksin jamur, justru bisa berakumulasi di dalam tubuh dan bisa berbahaya," lanjut Dyah. Penanganan pascapanen harus berdasarkan standar yang benar. "Cara membersihkan, mengiris, mengeringkan pun ada standarnya (Standar Nasional Indonesia). Temulawak dan jahe, misalnya, sudah ada SNI-nya. Jadi, bagaimana penanganan pascapanen dan budidaya sudah ada standarnya." Lebih lanjut Dyah mencontohkan mengenai ketebalan irisan. "Tak bisa sembarangan. Tergantung apa yang diinginkan. Misalnya, kalau yang diinginkan minyak atsirinya, berarti irisan harus lebih tebal, dan sebagainya." Begitu pula dengan cara mengeringkan dan menyimpan, juga tak boleh dianggap remeh. "Kalau sudah lembap, bukannya mengobati atau mencegah, tapi mikroba yang masuk ke tubuh malah akan bertambah. Kalau yang masuk mikroba yang patogen, bisa merusak," kata Dyah melanjutkan. Yang jelas, Dyah menyarankan untuk tidak meninggalkan jamu. "Tidak semua industri jamu seperti itu, kok. Banyak produk jamu yang bagus. Konsumen harus jeli memilih, mana jamu yang aman dan mana yang tidak. Lagipula, negara kita ini sangat kaya dengan tanaman obat. Jadi, kitalah yang harus memberdayakan." LAYAK KONSUMSI Selain soal khasiat, yang juga harus diperhatikan sebelum mengonsumsi jamu adalah sisi keamanan. "Memang sulit untuk mengetahui apakah ada kandungan bahan kimia di dalam produk jamu. Harus melewati penelitian," jelas Dyah. Tapi, untuk melihat apakah jamu masih bagus (layak konsumsi) atau tidak, bisa dilakukan. Salah satunya dengan melihat tanggal kadaluwarsa. "Juga dari penampakkan serbuk jamunya sendiri. Serbuk yang bagus biasanya kering, tidak lembap." Dyah juga menyarankan untuk memilih jamu yang sudah teregistrasi. "Ini paling tidak akan mengurangi kemungkinan meminum jamu yang tidak jelas kandungannya. Akan lebih baik kalau minum jamu yang diproduksi berdasarkan hasil penelitian dan proses pembuatannya benar (experiment-based dan knowledge-based). Minum jamu sebaiknya juga jangan sampai menjadi suatu ketergantungan. "Meskipun sifatnya lebih untuk pencegahan, sebaiknya jangan setiap hari. Diberi selang waktu, misalnya minum dua hari sekali." Yang tak kalah penting adalah konsumsi gizi yang baik, olahraga dan istirahat teratur. "Itu juga membantu mencegah penyakit."

0 komentar:

Posting Komentar